Hari
minggu, hari yang paling ditunggu para pegawai. Hari yang ditunggu para pekerja
kasar maupun kantoran. Kami pun selalu menunggu hari ini. Hari dimana kebebasan
terwujud. Ya.. kebebasan.. kami terbebas dari aturan pekerjaan dan aktivitas
yang mengikat. Ngomong-ngomong kebebasan, menurut Black dalam kamus hukum Black
mengartikan kebebasan adalah sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk
larangan kecuali larangan yang telah diatur dalam undang-undang. Hari ini pekerja bebas melakukan aktivitas apapun, yang pada intinya tidak melanggar
undang-undang. Tidak jadi persoalan.. Bagi pekerja, hari minggu adalah hari
kemerdekaan dari jerat pekerjaan yang mengikat.
Kebetulan kami menuju Surabaya. Hari
ini jalan nampak sepi. Tidak seperti hari-hari biasanya. Gedung-gedung
perkantoran lengang sementara mall ataupun plaza nampak ramai. Ya.. para
pegawai saatnya menikmati hari kemerdekaan nya dengan berjalan-jalan entah ke
mall, plaza ataupun menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka benar-benar
memanfaatkan hari minggu sebaik mungkin. Mungkin inilah surga mereka.
Jika kita benar-benar mencermati
siklus pekerjaan ini dengan baik, kita akan menemukan bahwa hidup dan tenaga
kita secara terus menerus dimanfaatkan, dieksploitasi, dikuras oleh para
pemilik modal. Bayangkan... seminggu kita bekerja dengan durasi waktu yang
ditetapkan perusahaan atupun lembaga dan 1 hari libur serta gaji tertentu.
Setelah kita mendapat gaji, karena tuntutan hidup, terpaksa kita menyuplai
keuntungan bagi para pemilik modal. Kita membeli barang-barang elektronik,
otomotif, serta keperluan hidup kita dari para pemilik modal yang
menginvestasikan uangnya ke perusahaan-perusahaan atau lembaga tertentu. Para
pekerja bekerja untuk menghasilkan produk, sementara produk dijual kepada para
pekerja. Kita digaji dan gaji kita dikembalikan lagi ke pemilik modal.
Pekerja semakin tak berdaya, apalagi ketika
investor berasal dari asing, hasil jerih payah pekerja dihisap investor asing. Apa
bedanya zaman penjajahan dengan zaman modern saat ini. Sedikit berbeda mungkin..
dulu penjajah mengintervensi, dan sekarang penjajah mengayomi sekaligus
menghisap pelan-pelan. Dimanakah letak kemerdekaan kita? Lebih parahnya.. dalam
alam bawah sadar masyarakat saat ini, bekerja adalah ujung tombak kehidupan.
Ya... tak bisa dipungkiri... pendidikan kita berbasis pada potensi peluang
pekerjaan dimasa akan datang. Itu artinya kita menyiapkan generasi bangsa pada
pemilik modal untuk bekerja di perusahaan-perusahaan atau lembaga yang mereka
kuasai. Ah.. biarlah.. Entah tenaga kita dieksploitasi itu bukan masalah.. yang
penting hari ini dapat makan dan dapat menjalankan keidupan esok. Syukur-syukur
dapat jabatan mentereng. Pemerintah.. kemana..?
Jam kerja seperti yang dipermasalahkan
Karl Mark sudah di antisipasi para kapital (pemilik modal). Mereka
memaksimalkan penggunaan mesin yang dikombinasikan dengan tenaga kerja. Secara
otomatis mau tidak mau akan terjadi kelebihan tenaga kerja alias pengangguran.
Secara sederhana, jika pengangguran semakin banyak tingkat kompetisi semakin tinggi,
dengan kompetisi semakin tinggi akan menguntungkan pemilik modal. Kapital akan
mendapatkan pekerja dengan kualitas terbaik namun dengan gaji minim. Bagaimana
cara memproduksi tenega kerja berkualitas? Ya .. para pemilik modal mendanai
serta membantu Perguruan tinggi yang ada. Semakin banyak yang ke PT semakin
baik. Semakin banyak pengangguran terdidik malah semakin baik. Seperti itulah
prinsip kapital. Kemana pemerintah..?
Kami rakyat kecil dan masyarakat kaum
bawah yang bekerja keras, seiring silih bergantinya kepala negara, kami belum
sepenuhnya diperhatikan. Berapa banyak Undang-undang yang disahkan pemerintah
(eksekutif) dan dewan perwakilan rakyat (legislatif) yang pro terhadap
kapitalis asing maupun lokal? Kami rakyat golongan bawah seperti keset yang
digunakan untuk membersihkan kotoran-kotoran para elit. Kami tak bisa berbuat
apa-apa karena tangan dan kaki kami dirantai oleh aturan dan arus zaman. Dewan
yudikatif sebagai penegak hukum tanpa pandang bulu toh sama saja. Takluk pada
materi. Kami rakyat jelata harus megadu kemana lagi..? Parpol sebagai corong
suara rakyat.. nyatanya hanya sebagai tunggangan para pemilik modal untuk
melenggang ke kursi elit daerah maupun nasional. Sementara aspirasi kami
seperti angin berlalu. Kami rakyat kecil semakin tersisih diatas tanah air
sendiri. Hampir sempurnalah pribahasa ayam mati di lumbung padi akan menjadi
kenyataan. Disitulah pertanda kami punya negeri namun tak dapat kami nikmati.
Mengapa para pemegang kekuasaan tidak
kembali kepada UUD 1945? Apakah mereka takut bisnis, perusahaan atau lembaga
yang mereka miliki akan hancur? Apakah masih kurang jelas bunyi UUD 1945.
Apakah para elit yang berkuasa tutup mata dengan “UUD 1945 BAB XIV tentang PEREKONOMIAN
NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL. Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga ke- seimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Yaah.. semoga UUD tidak hanya sekedar
tulisan semata tanpa tindakan nyata dari pemerintah dan anggota dewan.
Seandainya.. kami kaum golongan bawah dilibatkan dalam kegiatan ekonomi
nasional. Kami ingat dengan konsepsi bung Hatta tentang koperasi sebagai soko
guru perekonomian nasional. Itulah hakekat dari kemandirian ekonomi nasional
yang muaranya adalah kesejahteraan para anggota koperasi. Siapa anggotanya? Ya
kita-kita ini masyarakat Indonesia tanpa mengenal status kaya dan miskin. Namun
nampaknya negara masih sibuk dengan berbagai urusan yang sangat kompleks. Kami
tahu.. pemerintah tidak hanya mengurusi penderitaan kaum bawah saja, namun juga
menjaga stabilitas nasional, kami tahu.. itu adalah sebuah tanggungjawab berat
bagi pemerintah.
Memang tidaklah mudah membangun negara tanpa
modal asing saat masalah sudah sedemikian kompleks seperti saat ini. Kita bisa
lepas dari hutang dan defisit asalkan investor datang untuk berinvestasi di
negara kita. Investor datang dengan tujuan keuntungan, negara pun sama,
mengundang investor untuk membangun kawasan dengan tujuan keuntungan pula. Kami
terus melihat langkah yang ditempuh pemerintah.. Kami hanya bisa melihat dari
jauh, semoga negara kita dapat keluar dari zona defisit ini. Kami sadar masalah
besar yang membelit negara kita ini harus diselesaikan dengan hati-hati. Tidak
mungkin mendadak banting setir, yang akan mengakibatkan robohnya tatanan. Kami
hanya mengingatkan UUD 1945 tentang perekonomian sosial dan kesejahteraan
nasional.
No comments:
Post a Comment