Pancasila is Indonesian ideology

Since the proclamation of independence of Indonesia recited by Soekarno and Hatta in a straight and firmly want a state fair in all the life of the people of Indonesia. The base of the state and ideology Indonesia is Pancasila that contains 1) Belief in the only one God, 2) Humanity which just and civilized, 3) The union of Indonesia, 4) Society based led by the lesson from discretion in permusyawarahan parliament, and 5) Social justice for all Indonesian people. Pancasila has been agreed upon together as a cornerstone in making all the decisions in the life of a country.

Keraton Surakarta

Karaton Surakarta terletak di Surakarta, Kab. Solo. Dari hasil observasi bahwasanya Kesultanan Mataram dulunya runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 yang akhirnya ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II

memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742 akhirnya Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo,. Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.

Ada 3 pilihan yang menjadi pilihan untuk pemindahan karaton yaitu ; Kadipulo, Sonosewu dan Dusun Sala. Kemudian raja menyuruh abdi dalem untuk meneliti di tempat tersebut atau sering disebut ‘nitik karaton’ dan hasilnya :

1. Kadipulo sebagai tempat karaton sudah di setujui oleh patih abdi dalem namun menurut ahli spiritual jika karaton di tempatkan di kadipulo dikemudian hari akan makmur, namun karaton cepat rusak dan banyak perang saudara. Bahkan ada ramalan usianya hanya 100 tahun.

2.Sonosewu, sebelah timur bengawan solo, menurut honggowongso tempat ini kurang cocok, jika karaton berdiri di tempat tersebut akan berusia 120 – 124 tahun, banyak perang dan akan kembali ke agama hindhu – buddha.

3. Dusun sala, pada saat itu tanah serta konstruksi tanahnya berawa dan di temukan tempat yang tanahnya wangi, maka tempat itu diberi nama Tolowangi, terletak disebelah timur dusun Sala yang sekarang bernama kampung Yosodipuran dan Wiropaten. Di waktu pangeran wijil 7 hari 7 malam bersama kiai yosodipuro tus panjang, di tepi kedung kol, menerima bisikan gaib atau wangsit yang diterima pangeran wijil bahwa telah menjadi kehendak tuhan bahwa telah digariskan desa Sala akan menjadi karaton besar dan tahan lama. Honggowongso bahkan meramalkan, jika karaton baru berdiri di dusun itu bisa berusia sampai 200 tahun.

Para utusan dalem kemudian menyampaikan kepada paku buwono II dan akhirnya menyetujui, bahwa dusun sala akan dibangun karaton baru menggantikan karaton kartasura. Pada saat itu yang memegang serta mendirikan dusun Sala adalah kiyai gede sala dan beliau juga merupakan abdi dalem karaton kartasura.

Kemudian selanjutnya pangeran wijil merundingkan kehendak paku buwono II kepada kiyai Sala dan akhirnya di sepakati bahwa ada persyaratan, antara lain :

1. Gong kyai sekar delima

2. Sirah tledek yaitu uang sebanyak “salekso ringgit”

3. Daun lumbu dan bunga delima seta.

Setelah persyaratan terpenuhi semua bunga delima seta dan daun lumbu dimasukkan ke dalam air yang berawa, dan akhirnya rawa semakin mengering dan pada akhirnya dibangunlah karaton. Kepindahan karaton dari kartasura ke desa Sala ini merupakan tonggak sejarah berdirinya karaton surakarta yaitu tepatnya pada rabo pahing, tanggal 17 suro tahun 1670 (jawa) atau tanggal 17 Februari 1745.

Dari hasil observasi yang dilakukan dikraton Surakarta ternyata dibagian depan terdapat pendopo pagelaran (Saksono Sumewo) yang berfungsi sebagai tempat hadirnya tamu raja untuk memberikan informasi mengenai kenegaraan, mengingat karaton surakarta dulunya merupakan kerajaan yang lumayan besar, didalamnya membawahi beberapa daerah. Pada saat Pakubuwono X tempat ini direnovasi dengan 48 pilar atau tiang penyanngga, tiang ini didasarkan pada umur Pakubuwono X yaitu 48 tahun. Dan didalam pendopo ini terdapat singgasan khusus untuk raja beserta tamu – tamu raja. Dan perlu diketahui pakubuwono ke X ini merupakan raja paling jaya.

Kemudian menelusuri pada tempat ke dua yaitu siti hinggil, yang mengandung arti siti (tanah) dan Hinggil (Tinggi) jadi tanah yang tingkat kerataannya tinggi, siti hinggil berfungsi sebagai upacara sakral yaitu tempat penobatan atau pengukuhan raja yang telah mangkat. Menurut narasumber bahwa yang berhak meneruskan tahta kerajaan adalah putra mahkota dari garis keturunan laki-laki. Didalam siti hinggil ini terdapat Bangsal Mangoentur Tanggil yaitu tempat atau singgasana sang raja ketika proses penobatan berlangsung.

Selanjutnya pada tempat ke tiga atau bisa dikatakan tempat inti yang kerap kali disebut Pelataran inti kraton, yang di dalamnya berisi ruang-ruang yang dikhususkan hanya para abdi dalem saja. Ditengah pelataran terdapat Pendopo Ageng Sasono Sewoko yaitu tempat sang raja singgah atau duduk saat ada pesta rakyat atau hajad besar yang biasanya didalamnya ada tarian bedoyo ketawang yang hanya boleh digelar didalam kraton saja, dan dimainkan hanya oleh 9 orang gadis yang masih perawan. Didalam Pendopo Ageng Sasono Sewoko terdapat pula Sasono Hondrowino yaitu tempat sang raja makan atau menjamu para tamu raja. Kemudian didalam kraton juga terdapat pohon sawo kecik yang mempunyai makna ‘harapan’ kraton lebih baik serta pohon ini dapat mengingatkan sang raja maupun penghuni lainnya untuk selalu berbuat baik. Selain sawo kecik terdapat juga pasir yang didatangkan langsung dari parangtritis yakni ditaburkan di halaman kraton. Yang terakhir dijumpainya seperti benteng yang sering disebut Panggung Songgo Buwono yang berfungsi sebagai tempat mengamati bulan sabit, sebagaimana banyak acara kraton yang didasarkan pada hitungan bulan yang dilakukan abdi dalem, kemudian fungsi lain adalah mengintai para musuh yang berusaha masuk dan menyerang karaton.

Ke depan, Kompleks Alun-alun Lor/Utara meliputi Gladhag, Pangurakan, Alun-alun utara, dan Masjid Agung Surakarta. Gladhag yang sekarang dikenal dengan perempatan Gladhag di Jalan Slamet Riyadi Surakarta, pada zaman dulu digunakan sebagai tempat mengikat binatang buruan yang ditangkap dari hutan. Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alunmenjadi tempat bertemunya raja dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun alun terdapat dua batang pohon beringin yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewodaru dan Joyodaru. Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Mesjid Ageng (Masjid Raya) Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono III (Sunan PB III) pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam).

Kompleks Kemandungan Lor/Utara. Kori Brajanala (brojonolo) atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kemandungan utara. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan jalan sapit urang dengan halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh Susuhunan Paku Buwono III dengan gaya Semar Tinandu. Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisomarto tempat jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana (Panggung Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks Sri Manganti.

Kompleks-kompleks Magangan, dan Sri Manganti, Kemandungan, serta Sitihinggil Kidul (Selatan). Kompleks Magangan dahulunya digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah halaman. Dua kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kemandungan Kidul / Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman raja maupun permaisuri. Kompleks terakhir, Sitihinggil kidul termasuk alun-alun kidul, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai Slamet.

Jadi, secara garis besar Secara umum pembagian keraton meliputi Kompleks Alun-alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Sitihinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Srimanganti Kidul/Selatan dan Kidul.

Daftar Bacaan:
Suseno. 1992. Kraton Surakarta. Surakarta : Cendrawasih
www.eastjava.com di akses pada tanggal 23 Desember 2012

Muncul dan berkembangnya paham-paham besar yang mepengaruhi dunia.


IMPERIALISME-KOLONIALISME
Feodalisme muncul tepatnya pada akhir abad 14 awal abad 15 ketika orang-orang Eropa berhasil mengatasi persoalan hambatan geografis. Solusi dari hambatan geografis diatas berawal dari ditemukannya kompas sebagai penunjuk arah dan berkembangnya pengetahuan kelautan.

Perbudakan di Amerika

Latar Belakang Perbudakan di Amerika
            Pada awalnya perbudakan orang kulit putih terhadap orang – orang negro serta prakrik-praktiknya telah berlangsung sejak zaman kuno. Dimana praktik tersebut dilakukan oleh orang mesir terhadap orang negro di afrika. Budak tersebut digunakan tenaganya didaerah pertanian dan di tempat kuil-kuil.

Budaya Politik Kiai Jawa Dan Madura

Kajian analitis mengenai kiai memang cukup banyak dan beragam. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Dhofier. Menurut Dhofier gelar kiai adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang menjadi pimpinan pondok pesantren dan memiliki keahlian ilmu agama Islam.

Gelar kiai dibentuk dan ditentukan oleh masyarakat, bukan gelar yang diciptakan sendiri oleh kiai tersebut. Gelar seperti ini merupakan gelar sosial yang menentukan prestis tidaknya seseorang dalam masyarakat. Gelar kiai juga diberikan kepada seseorang yang dianggap tokoh oleh masyarakat di luar urusan agama, atau diberikan kepada seseorang di luar kapasitasnya sebagai ahli ilmu agama. Dalam tradisi Jawa gelar yang diberikan dikenal dengan sebutan Kiai, Yai atau Ki. Masih menurut Dhofier, gelar kiai juga diberikan kepada seseorang yang ahli di bidang ilmu agama Islam, utamanya kitab kuning meskipun yang bersangkutan tidak memiliki pesantren.

Variasi kekiaian berbeda antara Jawa dan Madura. Dalam penelitian Turmudi di Jombang, semua ulama dari tingkat tertinggi hingga yang terendah disebut kiai. Dengan kata lain, istilah kiai di Jombang tidak mesti pada mereka yang menjalankan pesantren, tetapi juga dapat diterapkan kepada guru ngaji atau imam Masjid yang memiliki pengetahuan keislaman yang lebih dibandingkan dengan warga lain. Sementara di Madura tidak terikat oleh struktur formal apapun, tetapi lebih terletak pada pengakuan sosial sehingga agak sulit mengenali kekiaian seseorang. Hanya mereka yang menjalankan pesantren yang bisa dikenali dengan mudah. Mereka dianggap sebagai kiai yang lebih tinggi derajatnya. Di Madura, seorang guru ngaji di Musholla disebut kiai, demikian juga ada kiai yang berprofesi sebagai paranormal.
 
Peran kiai di Madura sebagai pemimpin agama sangat dekat dengan hal-hal yang bersifat politik. Hal ini tidak dapat dielakkan karena kiai memiliki massa yang besar dan dengan sangat mudah menggerakkan massa (ummat) tersebut untuk kepentingan politik. Sementara sebagian massa tersebut adalah santri atau keluarga santri, atau mereka yang memiliki hubungan secara emosional keagamaan dengan kiai. Dari kekuatan tersebut kiai memiliki peran yang kuat dan berbeda dibandingkan masyarakat pada umumnya. Artikel ini mencoba membedah peran kiai di Madura dan peran-peran mereka dalam pentas politik.

Ekologi Madura
Secara antropologis, Jawa khususnya Jawa Timur dibagi ke dalam tiga budaya besar, yaitu kawasan yang disebut mataraman, yaitu kawasan yang secara budaya lebih dekat dengan budaya Jawa Mataram, yaitu budaya keraton Surakarta dan Yogyakarta. Di luar kawasan tersebut dikenal sebagai kawasan pesisir dan ujung timur Jawa, yakni kawasan Madura dan Jawa-Madura.
 
Masyarakat Jawa-Madura memiliki karakteristik dan budaya yang sama dengan Madura. Para ilmuwan ada menempatkan dan memperlakukan sama antara orang Madura dan Jawa-Madura, karena hubungan genealogis yang tidak bisa dipisahkan, tetapi sebagaimana dilakukan oleh Ayu Sutarto, antara Madura dan Jawa-Madura memiliki perbedaan yang cukup jelas, sehingga Jawa-Madura membentuk subkultur baru yang disebut dengan ”Pendalungan”.

Istilah tapal kuda merupakan istilah yang dianalogikan kepada masyarakat Madura, yang tinggal di Pulau Madura maupun di Jawa Timur bagian timur. Selain tinggal di pulau Madura, masyarakat Madura juga mendiami kawasan kawasan pesisir, mulai Surabaya, Bangil hingga kawasan Jawa Timur bagian timur, yakni Jember dan Banyuwangi. Secara geografis, kawasan tersebut menyerupai telapak kuda, sehingga para antropolog sering memakai istilah ”tapal kuda” untuk merujuk kawasan tersebut.

Penduduk yang berbahasa dan berbudaya Madura tidak saja ditemui di rumah asalnya, pulau Madura, melainkan beberapa kawasan lain di Jawa Timur. Hampir di kawasan pesisir utara Jawa Timur didiami oleh masyarakat Madura, yang membentang dari pesisir Gresik, Surabaya, Bangil, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi dan Jember. Bahkan kawasan pesisir pantai selatan, seperti Lumajang dan Malang juga didiami masyarakat Madura, meskipun jumlahnya tidak sebanyak di kawasan pantai utara. Di dua Kabupaten, Bondowoso dan Situbondo yang berada di kawasan timur Jawa Timur, hampir 100 % penduduk setempat berbahasa Madura. Indikasinya adalah, tidak ditemuinya penduduk setempat yang berbahasa selain Madura, kecuali penduduk pendatang baru, yang umumnya bekerja sebagai pegawai pemerintah dan guru, dan tinggal menetap di kawasan tersebut.

Masyarakat Madura di Jawa (istilah lain disebut Jawa-Madura) adalah berasal dari pulau Madura. Secara genealogis mereka adalah orang Madura. Mereka melakukan migrasi besar-besaran pada akhir abad 18. Pada tahun 1806, sudah ditemui desa-desa orang Madura di pojok timur karesidenan Jawa; 25 desa di Pasuruan, 3 desa di Probolinggo, 22 desa di Puger dan 1 desa di Panarukan. Pada tahun 1846, populasi orang Madura di pojok timur pulau Jawa diperkirakan berjumlah 498.273, dan di Surabaya, Gresik dan Sidayu sekitar 240.000. Adapun jumlah total etnis Madura di Jawa-Madura waktu itu sekitar 1.055.915.8

Migrasi temporer dan permanen mempengaruhi populasi di Madura sendiri. Sejak tahun 1892, diperkirakan perpindahan tiap-tiap tahun penduduk Madura ke Jawa berjumlah 40.000, dengan perincian 10.000 dari Sumenep, 3.000 Pamekasan, 18.000 dari Sampang dan 9.000 dari Bangkalan. Selama musim kemarau, ketika air sangat jarang, pekerja-pekerja migran meninggalkan pulau Madura dan kembali lagi setelah masa panen, atau pada akhir ramadhan untuk berpesta bersama keluarga. Mereka biasanya tinggal di Jawa, tiga sampai enam bulan atau sampai satu tahun. Ongkos berlayar hanya 25 sen, atau sama dengan upah sehari kerja. Rendahnya ongkos berlayar mendorong mereka untuk pergi ke Jawa dalam waktu terbatas, atau menetap dalam jangka waktu lama. Dalan studi yang dilakukan oleh Kuntowijoyo, hingga tahun 1930 separuh lebih dari seluruh etnis Madura tinggal di Jawa, utamanya di pojok timur Jawa Timur. Sensus penduduk waktu itu memperlihatkan bahwa penduduk Madura yang tinggal di Jawa (termasuk pulau-pulau kecil di timur Madura) berjumlah 4.287.276. Bandingkan dengan orang Madura yang tinggal di Madura yang hanya mencapai 1.940.567, atau sekitar 45 % dari total etnis Madura. Pada tahun tersebut, etnis Madura di pojok timur pulau Jawa merupakan mayoritas. Di Karesidenan Panarukan, Bondowoso dan Kraksan hampir 100 % penduduknya orang Madura. Di Probolinggo, orang Madura mencapai 72 %, di Jember 61 %, Pasuruan 45 %, Lumajang 45, 6 %, di Malang 12 % dan Bangil 12, 7 %.10 Dari sisi inilah, prilaku, karakteristik antara orang Madura yang berada di pulau Madura dan pulau Jawa-Madura memiliki persamaan, baik dari struktur sosial, budaya dan ciri keagamaan.

Dalam sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2000, penduduk Madura yang berada di Madura Pulau sebesar 3.230.300 jiwa. Sementara terdapat 3.281.058 etnis Madura yang berada di pulau Jawa khususnya Jawa Timur, sementara dalam lingkup nasional jumlah etnis Madura mencapai 6.771.727 jiwa. Artinya jumlah etnis Madura yang berada di Jawa lebih besar dibandingkan dengan yang berada di Madura Pulau.

Dalam penelitian Kuntowijoyo, masyarakat Madura dikelompokkan menjadi lima;yaitu para usahawan, pemimpin agama, petani dan produsen garam. Usahawan yang cukup menonjol adalah pedagang besi tua dan kerajinan khas Madura. Sebagian lain sebagai petani dan nelayan. Jumlah petani di Madura sangat kecil, karena hampir sebagian besar tanah Madura adalah tandus dan tadah hujan. Tanah tersebut kurang cocok untuk memproduksi padi dan tanaman polowijo. Sebagian besar tanah Madura ditanami tembakau dan jagung, yang dari sisi ekonomis naik turun atau harganya ditentukan oleh pasar. Sementara yang bekerja sebagai nelayan cukup besar. Untuk kawasan timur, banyak ditemui petani garam yang jumlahnya cukup besar. Bahkan Kalianget, salah satu kawasan di Kabupaten Sumenep merupakan produsen garam terbesar di Indonesia.

Kondisi tanah tegalan yang tandus yang berimbas pada prilaku keseharian warga Madura. Secara umum masyarakat Madura dikelompokkan sebagai pekerja keras, terbuka, bertipikal kasar tetapi peduli pada lingkungan sekitar. Struktur ekologis sangat menentukan karakter masyarakat Madura. Tetapi ada perbedaan antara Madura Sumenep dan bagian barat, yaitu Pamekasan, Sampang dan Bangkalan. Tipikal keraton yang priyayi banyak mempengaruhi prilaku keseharian mereka. Masyarakat Sumenep lebih dikenal lebih halus, santun dan jaim (jaga imej). Orang Madura-Jawa yang mendiami kawasan pojok timur Jawa Timur banyak dipengaruhi tipikal Sumenep dibandingkan bagian barat lain. Sementara orang Jawa-Madura yang tinggal di sekitar Surabaya, Bangil, Pasuruan dan Probolinggo memiliki karakteristik yang sama dengan Madura Sampang dan Bangkalan.

Agama dan Politik Memposisikan Kiai Sebagai Sentral
Pemimpin kegamaan di Madura terdiri dari tiga kelompok, yaitu; santri, kyai dan haji. Murid yang menuntut ilmu disebut santri, guru agama yang mengajari santri disebut kyai, dan mereka yang kembali dari menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan Madinah disebut haji. Ketiga kelompok tersebut berperan sebagai pemimpin keagamaan di Masjid, Musholla, acara ritual keagamaan dan acara seremonial lain, dimana mereka berperan sebagai pemimpinnya. Diantara ketiganya, kyai merupakan tokoh yang paling berpengaruh, dan oleh Kuntowijoyo, kyai Madura disebut dengan elit desa. Pengetahuan yang mendalam tentang Islam menjadikan mereka paling terdidik di desa. Beberapa kiai selain tetap menyampaikan keahliannya soal-soal agama, juga dapat meramalkan nasib, menyembuhkan orang sakit dan mengajar olah kanuragan. Kyai Madura dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis;guru ngaji, yang mengajarkan al-Qur’an, guru ngaji kitab yang mengajarkan berbagai jenis ilmu agama, dan guru tarekat yang disebut juga pemimpin tarekat.

Peranan kiai di Madura sangat penting, dan orientasi masyarakat Madura adalah kiai, tidak pada kepemimpinan birokrasi. Pandangan ini yang kemudian dimaknai “kegagalan” integrasi politik dan ekonomi Madura dalam sistem nasional, sebagaimana ditunjukkan oleh tipisnya pengaruh partai pemerintah dalam beberapa kali Pemilu. Dalam penelitian Towen-Bouswsma (1988) dan Joordan (1985) disimpulkan, bahwa terdapat indikasi yang sangat kuat adanya “kegagalan” pemerintah dalam mengintegrasikan sistem politik dan ekonomi yang bersifat nasional dalam kehidupan masyarakat Madura. Pandangan kedua peneliti tersebut dibantah oleh Kuntowijoyo yang menyatakan, bahwa kuatnya pengaruh kiai di tengah masyarakat Madura karena faktor ekologi dan sistem sosial. Ekologi tegalan hingga sekarang masih dominan. Apa yang dikenal dengan “Revolusi Hijau” dan “Revolusi Biru” di bidang pertanian tidak mampu merubah sistem sosial, politik dan kultural Madura. Ekosistem tegal sudah menjadi satu dengan masyarakat Madura, sehingga sulit untuk memisahkan pengaruhnya pada organisasi sosial dan sistem simbol masyarakatnya.

Pola ekosistem tegalan di atas dimaksudkan untuk menujukkan pola pemukiman dan sekaligus organisasi desa. Di Madura, sama halnya di Jawa, pola pemukiman persawahan mengelompok pada satu induk (nuclear village) dengan persawahan di sekitar desa. Akan tetapi, karena jumlah sawah tidak teralu berarti, maka pola pemukiman semacam itu jarang terjadi. Kebanyakan desa mempunyai pola desa tersebar (scattered village), dimana perumahan penduduk terpencar dalam kelompok-kelompok kecil. Untuk mempersatukan desa-desa yang terpencar itu, perlu ada jenis organisasi sosial lain yang mampu membangunkan solidaritas. Di sinilah letak pentingnya agama dan kiai di pedesaan Madura.

Karena desa tidak dipersatukan dalam suasana ekonomi, maka sistem simbol menjadi lebih kuat. Demikian juga, karena terpencar, perlu ada pengikat yang menjembatani pemecahan desa. Dalam hal ini agama menjadi ”organizing principle” bagi orang Madura. Pertama, agama memberikan collective sentiment melalui upacara-upacara ibadah dan ritual serta simbol yang satu. Misalnya, di Madura orang juga terpaksa membangun Masjid desa untuk melaksanakan ibadah jum’at secara bersama, karena dalam ketentuan syariat, tidaklah sah shalat jum’at yang tidak dihadiri 40 orang jamaah. Keharusan agamalah yang menjadikan masyarakat Madura menjadi masyarakat dengan membentuk organisasi sosial, yang didasarkan pada agama dan pada otoritas kiai. Masyarakat sipil yang dibangun di atas masyarakat desa hanya menjadi organisasi supradesa yang berada di permukaan, tetapi tidak mempunyai raison d’etre-nya sendiri.

Sebagaimana masyarakat patrimonial yang memegang teguh hierarki, posisi kiai sebagai pemimpim keagamaan dalam masyarakat Madura menjadi sangat kuat. Kekuasaan sosial terpusat pada tokoh-tokoh yang secara tradisional keberadaannya sangat dibutuhkan untuk mempersatukan mereka, bukan karena dipaksakan maupun keinginan para tokohnya. Dalam konteks inilah yang awalnya peran kiai hanya menyempit dalam area keagamaan kemudian melebar ke kawasan sosial dan bahkan politik.

Selain itu, pandangan hidup orang Madura antara lain tercermin dalam ungkapan bhuppa’ bhabbu’ ghuru rato. Pandangan ini menyangkut filosofi kepatuhan orang Madura pada bapak, ibu, guru dan raja (pemimpin formal), yang mereka sebut sebagai figur-figur utama. Dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara khirarkikal. Sebagai aturan normatif yang mengikat kepada semua orang Madura, maka palanggaran atau paling tidak—melalaikan aturan itu—akan mendapat sangsi sosial secara kultural.

Kepatuhan kepada guru merupakan aturan yang sangat normatif yang menjadi dasar bagi setiap makhluk di dunia. Bagaimana dengan kepatuhan kepada guru di Madura? Pada tataran ini Wiyata lebih menggaris bawahi bahwa tidak semua masyarakat dapat mematuhi guru sekuat orang Madura. Bagi orang Madura, guru (kiai) merupaka jaminan masalah moralitas dan masalah-masalah ukhrawi, maka kepatuhan orang Madura kepada guru didasarkan pada alasan tersebut. Sementara rato dalam sejarah Madura banyak dipegang oleh para kiai. Dari sinilah filosofi tersebut sangat kuat dan menjadi penanda identitas kultural orang Madura. Dari sini dapat dilihat bahwa ketaatan orang Madura pada kiai karena memang filosofi hidup mereka yang sangat kuat terbentuk sejak dini.

Selain itu, orang Madura diakui memiliki perangai, sikap dan prilaku yang sangat tegas kemudian terimplementasikan dalam perangai, sikap, prilaku spontan dan ekspresif kadangkala muncul dalam takaran yang agak berlebihan sehingga makna ketegasan yang terkandung di dalamnya kemudian bergeser menjadi ”kekerasan”. Namun, pergeseran ini tidak mungkin terjadi tanpa ada kondisi-kondisi yang membentuknya. Kondisi sosial-budaya yang paling kuat adalah ketika orang Madura merasa dilecehkan harga dirinya sehingga membuatnya tada’ajinah (pengingkaran terhadap eksistensi diri sehingga tidak berguna dan bermanfaat baik secara sosial maupun budaya). Misalnya, kasus-kasus carok yang terjadi akibat pelecehan harga diri tidak dapat dilepaskan dengan kondisi seperti ini. Menurut Wiyata, banyak orang mengartikan bahwa setiap bentuk kekerasan, baik berakhir dengan kematian atau tidak, terutama yang dilakukan orang Madura, itu carok. Padahal kenyataannya, tidaklah demikian. Carok selalu dilakukan oleh sesama lelaki dalam lingkungan orang-orang desa. Setiap kali terjadi carok, orang membicarakan siapa menang dan siapa kalah. Dalam temuan penelitiannya, Wiyata menegaskan bahwa ternyata carok tidak merujuk pada semua bentuk kekerasan yang terjadi atau dilakukan masyarakat Madura, sebagaimana anggapan orang di luar Madura selama ini. Carok seakan-akan merupakan satu-satunya perbuatan yang harus dilakukan orang-orang pelosok desa yang tak mampu mencari dan memilih opsi lain dalam upaya menemukan solusi ketika mereka sedang mengalami konflik.

Perangai sikap dan prilaku ”keras” yang kadangkala muncul tanpa disadari atau disengaja sebelumnya secara kultural memang diakui adanya. Hal ini oleh karena adanya relasi yang membentuknya. Namun secara kultural pula, perangai, sikap dan prilaku tersebut tetap disaring dalam koridor etika moral yang benar sehingga kemudian memunculkan pesona kewibawaan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan, ”mon pakeras, pakerres”. Makna ungkapan ini, bagaimanapun kerasnya perangai, sikap dan prilaku orang Madura hendaknya harus mampu diimplementasikan dan dimanifestasikan dalam keseharian dengan memencarkan pesona kewibawaan.

Sumber Referensi:
Dhofier, Zamakhsari. 1982. Tradisi Pesantren:Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES
Herusatoto, B. 1991. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita
www.kabarindonesia.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Tapal_Kuda