Kepingan Pengabdian Ibu Guru

Pendidikan adalah hak setiap warga negara, tidak terkecuali saudara kita yang berada nan jauh diujung timur Indonesia. Jaminan pendidikan sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Dasar negara. Dalam Undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa setiap warga negara diwajibkan mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Namun sayangnya, nasib saudara kita yang berada jauh dari pusat ibu kota negara ini tidak sebaik gagasan yang telah diundang-undangkan negara. 
             Akses serta sarana dan prasarana pendidikan bisa dikatakan kurang memadai dan cenderung menyulitkan pendidik untuk memberikan pendidikan yang baik. Di kampung-kampung di daerah Papua seperti halnya di Kabupaten Mamberamo Raya yang mempunyai medan hutan lebat, rawa-rawa dan sungai memberikan tantangan yang luar biasa bagi pendidik khususnya para ibu guru.
            Di Distrik Benuki, Kabupaten Mamberamo Raya hanya terdapat satu SMP Negeri yang berlokasi di kampung Gesa Baru. Sekolah menengah tersebut mengakomodasi siswa-siswi yang berada di kampung-kampung dalam wilayah Distrik Benuki. Jarak antara satu kampung dengan kampung lainnya cukup jauh. Perjalanan untuk sampai di sekolah, ada yang harus menembus hutan dan ada pula yang menyusuri sungai. Biasanya siswa-siswi yang datang dari kampung yang cukup jauh akan menginap di rumah-rumah warga sekitar atau sanak saudaranya.
            Di SMP Negeri Benuki terdapat empat tenaga pendidik. Dari empat tenaga pendidik tersebut satu diantaranya adalah perempuan. Ibu Agustina sapaan akrabnya. Beliau asli dari Toraja. Dalam menjalankan tugasnya, ibu Agustina tinggal di barak guru yang berada di samping pemukiman penduduk. Beliau tinggal bersama anaknya yang masih berusia sekitar 1,5 tahun, sementara suaminya bekerja di Sulawesi. Barak dengan ukuran 4 x 9 m2 dengan struktur bangunan panggung yang sudah mulai dimakan rayap dan berlubang tidak menjadi penghalang untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang guru. Kadang jika hujan mengguyur deras, teras dan atap ruang tamu menjadi basah tersapu air. Seperti para ibu lainnya, beliau menjalankan aktivitas rumah tangga, mulai dari memasak hingga mengasuh buah hatinya.
Jarak antara lokasi sekolah dengan kampung tempat barak guru tinggal kurang lebih sekitar 3 Km dengan kondisi jalan berbatu merah. Selain itu dalam perjalanan ke lokasi sekolah harus melewati empat bukit. Bukit yang lumayan tinggi dan sulit dilalui adalah bukit Salib, penduduk sekitar biasa menyebut bukit itu dengan nama tersebut. Disamping kanan dan kiri bahu jalan hanya terlihat pepohonan menjulang tinggi serta ilalang yang tingginya dua kali lipat dari tinggi manusia normal. Tidak jarang ilalang tersebut sebagian menutupi bahu jalan karena cepatnya bertumbuh. Jika hujan tiba, derasnya air yang meluncur dari bukit akan menyulitkan pejalan kaki untuk melewati jalanan disekitar bukit, selain itu lumpur merah akan menjadi rintangan tersendiri untuk menjatuhkan siapapun yang melewatinya.
Waktupun tiba. Ibu Agustina bersiap menuju ke sekolah. Pagi buta dengan diiringi embun segar menambah dinginnya udara. Beliau sudah siap dengan payung merah muda bermotif bunga-bunga. Sepatu hitam yang sudah mulai menipis dan sisinya retak-retak sudah siap dikenakan, tidak lupa beliau dengan hati-hati menggendong buah hatinya agar tidak menangis. Beliau sengaja berangkat sepagi itu agar tidak didahului teriknya sinar matahari. Langkah demi langkah menapaki jalan berbatu merah, kadang berpapasan dengan siswa-siswi dan berbarengan berangkat bersama menuju sekolah. Beliau bergegas memacu langkahnya melewati bukit demi bukit, dengan menggendong buah hatinya beliau tetap waspada dan berhati-hati. Keringatpun membanjiri dahi dan lengan beliau. Sesampainya diatas puncak bukit Salib terkadang beliau berhenti sejenak, kemudian melanjutkan lagi menuruni bukit dan melewati bukit. Sesampainya di Sekolah beliau duduk di kursi depan kantor guru, sambil menunggu datangnya guru lain yang membawa kunci kantor.
Lonceng dari velg turk perusahaan yang sudah tidak terpakai terdengar nyaring dipukul-pukul oleh siswa, pertanda jam pelajaran telah dimulai. Beliau bergegas masuk menuju kelas, tidak lupa mengajak si kecil agar tidak menangis jika ditinggal sendirian. Pelajaran Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang diampu beliau. Tidak seperti guru-guru lain, beliau mengajar dengan kelembutan dan kesabaran sehingga banyak murid yang senang saat pembelajaran berlangsung. Sifat-sifat mengayomi sangat nampak saat beliau mengajar. Sesekali buah hatinya menangis, beliau menenangkannya dan melanjutkan pelajaran. Saat waktunya istirahat tiba beliau memetik kangkung dihalaman sekolah untuk dibawa pulang dan dimasak. Kadang murid-murid membantu beliau untuk memetik kangkung.
Loncengpun berbunyi dan waktunya pulang. Para guru berharap ada mobil Pickup yang lewat.  Namun penantianpun sia-sia, mobil pickup perusahaan tak kunjung datang. Ditengah teriknya matahari siang, para guru dan siswa-siswi berjalan pulang melewati jalanan yang berbukit-bukit. Beliau bersiap membentangkan payungnya, mengikat kencang gendongan buah hatinya. Bersiap menapaki jalan berbatu merah diiringi terik sinar matahari. Anginpun bertiup, ilalang menari-nari dan debupun berterbangan. Udara panas membuat si kecil gelisah dan menangis ditengah perjalanan, dalam perjalanan semua ikut menenangkannya namun sia-sia, tangisanpun malah menjadi-jadi dan beliaupun berhenti dibawah rerimbunan pohon berusaha menenangkan si kecil. Akhirnya setelah tertidur pulas beliapun melanjutkan perjalanan menyusuri jalan dan melewati bukit. Sampailah beliau di barak guru dan berusaha memindahkan si kecil dari gendongan.
Menjelang sore hari. Beliau bergegas menuju pasar untuk berbelanja. Di tempat duduk samping pasar kadang beliau menunggu lama penjual ikan atau sayuran yang dibawa penduduk sekitar. Tidak jarang beliau pulang tanpa membawa apa-apa. Kangkung tadi siang adalah hidangan wajib yang setiap hari dimasak. Selain itu kebutuhan si kecil seperti susu juga dibeli dikios-kios disekitar pasar kampung. Pasar ini tidak semewah pasar tradisional lainnya. Hanya meja berderet dan disekelilingnya terdapat beberapa kios dengan barang-barang yang terbatas.
Saat malam tiba, lampu dari aliran listrik solar cell menerangi barak guru. Nyamuk Anopheles penyebab malaria sudah berkeliaran dari sore hari. Beliau menggunakan kelambu untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk ini. Selain bahaya nyamuk, air juga menjadi barang berharga. Air melimpah ketika hujan tiba, dan biasanya ditampung di tandon-tandon besar. Jika satu minggu saja tidak ada hujan biasanya air tandon sudah mengering, pertanda aktivitas mandi berkurang.
Ditengah perjuangan pengabdian seorang guru yang begitu keras, untuk mengambil hak dari para guru dikampung-kampung inipun terlalu rumit. Saat mengambil insentif, para guru harus melapor dan mengambil secara manual ke ibu kota Kabupaten. Jarak tempuh antara kota dan kampung ini apabila naik speed boat sekitar 9 jam perjalanan jika tanpa hambatan, biaya jalanpun tergolong mahal karena harga BBM mahal. Hal inipun berlaku pula bagi Ibu Agustina. Beliau harus membawa buah hatinya pulang pergi ke ibu kota Kabupaten untuk mengambil haknya sebagai guru.
Begitu beratnya tugas seorang guru yang berada di kampung-kampung khususnya di daerah Papua, terlebih bagi mereka yang terlahir sebagai perempuan-perempuan perkasa. Dengan medan yang sulit dan tanggungjawab terhadap bangsa dan keluarga, beliau tetap kokoh bertahan untuk mengabdikan diri ditengah-tengah keterbatasan. Bahkan negarapun tidak akan sanggup memberikan imbalan yang sepadan atas pengabdian yang telah beliau berikan selama ini. Semoga engkau dapat menjadi teladan bagi perempuan-perempuan Indonesia untuk mengabdikan dirinya untuk bangsa dan keluarganya.






No comments:

Post a Comment