Latar belakang
Kita
mengetahui bahwa penjajahan atau ekspansi orang eropa di Indonesia sangatlah
menyengsarakan penduduk pribumi, dimana orang eropa telah banyak memonopoli
perdagangan Indonesia, mulai dari
inggris, belanda yang memanfaatkan Indonesia sebagai lahan untuk pemasukan
negaranya sendiri tanpa memperhatikan kondisi social masyarakat yang memprihatinkan.
Tidak hanya sebatas itu, orang eropa juga jelas mengeksplorasi dan mengeruk sumber daya alam Negara jajahanya dengan memaksakan penduduk pribumi untuk menuruti apa yang menjadi keinginan bangsa barat, seperti halnya menanam tanaman ekspor (tebu, teh, kopi dll).
Tidak hanya sebatas itu, orang eropa juga jelas mengeksplorasi dan mengeruk sumber daya alam Negara jajahanya dengan memaksakan penduduk pribumi untuk menuruti apa yang menjadi keinginan bangsa barat, seperti halnya menanam tanaman ekspor (tebu, teh, kopi dll).
Setelah dominasi monopoli
inggris berakhir di Indonesia, maka kemudian tampil belanda yang menggantikan
inggris sebagai penguasa yang mengatur Negara jajahannya sejak 1816. Dengan
kedatangan belanda tersebut menjadikan rakyat Indonesia dihisap dan dipaksa
bekerja dinegeri sendiri, untuk memaksimalkan penguasaan dan pengerukan SDA
Indonesia sampai kedasar-dasarnya, colonial belanda membangun sekolah yang bertujuan
untuk melahirkan tenaga ahli baru yang nantinya kelak akan dipekerjakan di
perusahaan belanda. Tetapi sebelumnya pada tahun 1819 belanda juga menderikan
sekolah tetapi hanya untuk warga belanda dan pejabat tinggi saja. Kemudian
tahun 1871, seiring dengan kemenangan kaum liberalis di parlemen belanda,
menuntut pendidikan di hindia belanda juga mencakup rakyat pribumi, kemudian
dibentuk UU agraria yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada modal
swasta belanda masuk ke Indonesia seperti dengan di buatnya Agrarische Wet.
Latar belakang
dikeluarkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) antara lain karena
kesewenangan pemerintah mengambil alih tanah rakyat. Politikus liberal yang
saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa
di Jawa dan ingin membantu penduduk Jawa sambil sekaligus keuntungan ekonomi
dari tanah jajahan dengan mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta. UU
Agraria memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat. Tanah penduduk
dijamin sementara tanah tak bertuan dalam sewaan dapat diserahkan. UU ini dapat
dikatakan mengawali berdirinya sejumlah perusahaan swasta di Hindia-Belanda.
Tujuan dari UU tersebut adalah Melindungi hak milik petani atas tanahnya dari
penguasa dan pemodal asing. Memberi peluang kepada pemodal asing untuk menyewa
tanah dari penduduk Indonesia seperti dari Inggris,
Belgia,
Amerika
Serikat, Jepang,
Cina, dan lain-lain. Serta
Membuka kesempatan kerja kepada penduduk untuk menjadi buruh perkebunan.
Ternyata dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria 1870 yang
menjadi alat pemodal asing untuk menyewa tanah seluas dan selama mungkin yang akhrnya
Sistem ini membawa kemunduran bagi kesejahteraan pribumi. Yang kemudian Munculah
gagasan etis di kancah pertanian Pemerintah Belanda.
Konsep Politik Liberal
Politik kolonial liberal di Eropa
pada awalnya merupakan cerminan antara perbedaan dalam bidang politik yang
berhaluan totalitarisme (fasisme dan komunisme) dan liberalisme (sosialisme dan
kapitalisme). Hubungan timbal balik antara ekonomi pasar dengan liberalisasi
politik yang relatif bisa dilihat pada studi perbandingan mengenai
negara-negara fasis maupun komunis. Doktrin liberal jauh lebih
mengutamakan masyarakat dari pada negara. Dalam doktrin liberal klasik,
“masyarakat pada dasarnya dianggap mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan
negara baru ikut campur tangan hanya kalau usaha-usaha masyarakat yang bersifat
sukarela menemui kegagalan”. Dengan demikian, teori Negara sebagai alat
menempatkan negara pada kedudukannya sebagai pelengkap. Sejauh individu dapat
menjalankan kehidupannya tanpa Negara, kaum liberal menentang keberadaan negara
bahkan jika negara dapat melakukan yang lebih baik dari pada individu.
Selain itu, konsep hukum dibalik
hukum secara langsung diturunkan dari pandangan kosesual Negara dan masyarakat
dalam liberalisme klasik. Masyarakat dipahami sebagai himpunan bermacam-macam
perkumpulan sukarela, dan negara itu juga pada intinya dianggap sebagai badan
yang diorganisasikan secara sukarela, karena otoritasnya diperoleh atas dasar
persetujuan mereka yang diperintah. Liberalisme selalu menganut pemikiran bahwa
hubungan antara Negara dan masyarakat atau antara pemerintah dan individu pada
akhirnya ditentukan oleh hokum yang kddudukannya lebih tinggi daripada hukum
negara.
Paham kebebasan liberalisme mulai
tumbuh subur di Eropa dan dianggap sebagai paham yang paling sesuai untuk
diterapkan oleh negara-negara yang menjunjung tinggi kebebasan. Liberalisme
muncul sebagai sikap pendobrakan terhadap kekuasaan absolut dan didasarkan atas
teori rasionalistis yang umum dikenal sebagai Social Contract. Sejak tahun
1900-an, politik dan ekonomi liberal memiliki hubungan yang sangat erat.
Gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan; setiap individu harus
diberi akses seluas mungkin untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya, tanpa
ada intervensi dan campur tangan dari negara. Atas dasar itu,
campur tangan negara tidak diperlukan lagi. Bila liberalisme awal (early
liberalism) lebih menekankan pada hak-hak politik, maka sejak tahun 1900-an,
liberalisme telah mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan, termasuk di
dalamnya liberalisasi pemikiran.
Latar Belakang
Politik Etis (Balas Budi)
Pelaksanaan politik kolonial liberal
di Indonesia tidak terlepas dari perubahan politik Belanda. Pada tahun 1850,
golongan liberal di negeri Belanda mulai memperoleh kemenangan dalam
pemerintahan. Kemenangan itu diperoleh secara mutlak pada tahun 1870, sehingga
tanam paksa dapat dihapuskan. Mereka berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di
Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta.
loading...
Pemerintah hanya mengawasi saja,
yaitu hanya sebagai polisi penjaga malam yang tidak boleh campur tangan dalam
bidang ekonomi. Sistem ini akan menumbuhkan persaingan dalam rangka
meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia. Dengan demikian pendapatan
negara juga akan bertambah banyak.
Untuk mewujudkan sistem tersebut,
pada tahun 1870 di Indonesia dilaksanakan politik kolonial liberal atau sering
disebut “politik pintu terbuka” (open door policy). Sejak saat itu pemerintahan
Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha swastaasing untuk
menenemkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan. Pelaksanaan sistem liberal
ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang De Waal, yaitu Undang-undang
Agraria dan Undang-Undang Gula. Undang-Undang Gula (Agrarische Wet)
menjelaskan, bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik pemerintah kerajaan
Belanda. Oleh karena itu, pihak swasta boleh menyewanya dalam jangka waktu
antara 50-75 tahun di luar tanah-tanah yang digunakan oleh penduduk untuk
bercocok tanam.
Sistem ekonomi kolonial antara tahun
1870 dan 1900 pada umumnya disebut sistem liberalisme. Yang dimaksudkan disini
adalah bahwa pada masa itu untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial, modal
swasta diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan di Indonesia,
khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa. Selama masa
ini, pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta Eropa lainnya mendirikan berbagai
perkebunan-perkebunan kopi, teh, gula, dan kina. Pembukaan
perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan oleh Undang-undang Agraria
(Agrarische Wet) yang dikeluarkan pada tahun 1870. Pada suatu pihak
Undang-undang Agraria membuka peluang bagi orang-orang asing, artinya
orang-orang bukan pribumi Indonesia untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia.
Pelaksanaan Politik Pintu Terbuka Pada tahun 1860-an politik
batig slot (mencari keuntungan besar) mendapat
pertentangan dari golongan liberalis dan
humanitaris. Kaum liberal dankapital memperoleh
kemenangan di parlemen. Terhadap tanah jajahan (Hindia
Belanda), kaum liberal berusaha memperbaiki
taraf kehidupan rakyat Indonesia.
Keberhasilan tersebut dibuktikan dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870.
Pokok-pokok UU Agraria tahun 1870
berisi:
1. Pribumi diberi hak memiliki tanah dan menyewakannya
kepada pengusaha swasta, serta
2. Pengusaha dapat
menyewa tanah dari gubernemen
dalam jangka waktu 75 tahun.
Dikeluarkannya UU Agraria ini mempunyai tujuan yaitu:
1) Memberi kesempatan dan jaminan kepada swasta asing
(Eropa) untuk membuka usaha
dalam bidang perkebunan di Indonesia,
dan
2) Melindungi hak atas tanah penduduk agar tidak
hilang (dijual).
UU Agraria tahun 1870 mendorong
pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta.
Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya
memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya.
Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah
sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.
Selain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga
mengeluarkan Undang-Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870. Tujuannya
adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha
perkebunan gula. Isi dari UU ini yaitu:
1. Perusahaan-perusahaan gula milik
pemerintah akan dihapus secara bertahap, dan
2. Pada tahun
1891 semua perusahaan gula
milik pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.
Dengan adanya UU Agraria dan UU Gula
tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik
dalam usaha perkebunan maupun pertambangan. Berikut ini beberapa perkebunan
asing yang muncul di Indonesia :
1. Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
2. Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3. Perkebunan kina di Jawa Barat.
4. Perkebunan karet di Sumatra Timur.
5. Perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.
6. Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Politik pintu terbuka yang
diharapkan dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat,
justru membuat rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap sumber-sumber
pertanian maupun tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan
sengsara. Adanya UU Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat,
seperti berikut:
1. Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.
2. Rakyat menderita dan miskin.
3. Rakyat mengenal
sistem upah dengan uang,
juga mengenal barang-barang ekspor
dan impor.
4. Timbul pedagang
perantara. Pedagang-pedagang tersebut pergi
ke daerah
pedalaman,
mengumpulkan hasil pertanian dan menjualnya kepada
grosir.
5. Industri atau
usaha pribumi mati karena
pekerja-pekerjanya banyak yang pindah
bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.
Kemunculan Politik Etis (Balas Budi)
Pengaruh Politik Liberalis Bagi
Indonesia Sama halnya dengan negara-negara lain, di negeri Belanda para
pengikut aliran liberalisme berpendapat bahwa negara seharusnya tidak campur
tangan dalam kehidupan ekonomi, tetapi membiarkannya kepada kekuatan-kekuatan
pasar. Mengikuti Adam Smith, para pengikut aliran liberalisme berpendapat bahwa
satu-satunya tugas negara adalah memelihara ketertiban umum menegakkan hukum,
dengan demikian kehidupan ekonomi dapat berjalan dengan lancar. Agar hal ini
dapat diwujudkan, para pengikut aliran liberalisme menghendaki agar segala
rintangannya yang sebelumya telah dibuat dihapuskan.
Ketika orang-orang liberal mencapai
kemenangan politik di negeri Belanda (setelah tahun 1850) mereka mencoba
menerapkan azas-azas liberalisme di koloni-koloni Belanda khususnya di
Indonesia. Mereka berpendapat ekonomi Hindia-Belanda akan berkembang dengan
sendirinya jika diberi peluang sepenuhnya kepada kekuatan-kekuatan pasar untuk
bekerja sebagaimana mestinya. Dalam prakteknya diartikan sebagai kebebasan
berusaha dan adanya modal swasta Belanda untuk mengembangkan sayapnya di
Hindia-Belanda dalam berbagai usaha kegiatan ekonomi.
Penanaman modal di Indonesia,
sebagian besar diarahkan untuk pembangunan
perkebunan-perkebunan yang dapat menghasilkan komoditi yang diperlukan bagi bahan dasar
industri. Lalu dibangunlah perkebunan- perkebunan yang sebagian besar dibangun di daerah Jawa dan
Sumatera. Pembangunan perkebunan ini
membutuhkan tenaga kerja yang akan digunakan untuk mengurus perkebunan. Dengan demikian, banyak penduduk
yang diangkat menjadi tenaga kerja perkebunan,
bahkan untuk perkebunan di Sumatera diangkat tenaga kerja yang berasal dari Jawa. Terjadilan
arus transmigrasi dari
pulau Jawa ke Sumatera yang dilakukan secara paksa. Bahkan ada di antara orang-orang Jawa ini yang
dikirim ke daerah Madagaskar dan Suriname.
Eksploitasi yang dilakukan oleh para
kapitalis terhadap penduduk Indonesia dilakukan dengan gaya baru. Para pekerja dipaksa untuk
bekerja di perkebunan-perkebunan dengan upah yang sangat minim dengan beban
kerja yang sangat tinggi.
Mereka tidak bisa menghindar dari ketentuan tersebut karena mereka terikat kontrak kerja. Pada tahun
1881, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang Koelie
Ordonantie yang mengatur para pekerja. Berdasarkan undang-undang tersebut, para kuli
bekerja sesuai dengan kontrak. Bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut
akan dijatuhkan hukuman berupa poenale sanctie. Para pengusaha diberikan kewenangan dan hak yang
besar untuk memperlakukan dan menjatuhkan
hukuman para pekerja sesuai dengan keinginannya.
Untuk mendukung
program perkebunan tersebut, pemerintah kolonial Hindia Belanda membangun
berbagai prasarana, seperti irigasi, waduk, jalan raya, jalan kereta api, serta
pelabuhan-pelabuhan. Pembangunan sarana-sarana tersebut seringkali memakan
korban jiwa yang sangat banyak dari penduduk Indonesia karena mereka
dipekerjakan secara paksa. Akan tetapi dengan pembangunan prasarana tersebut,
terutama pembangunan jaringan jalan raya telah menimbulkan pengaruh bagi
tumbuhnya mobilitas penduduk. Pembangunan jalan raya dan kereta api
memungkinkan pertumbuhan dan hubungan antarkota secara cepat. Dampaknya adalah
lahirnya kota-kota baru di daerah pedalaman seperti Malang, Bandung, Sukabumi,
dan sebagainya. Lahirnya kota-kota baru tersebut memicu pertumbuhan urbanisasi
yaitu gerak perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Politik pintu terbuka ternyata tidak
membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Van Deventer mengecam pemerintah
Belanda yang tidak memisahkan keuangan negeri induk dan negeri jajahan. Kaum
liberal dianggap hanya mementingkan prinsip kebebasan untuk mencari
keuntungan tanpa memerhatikan nasib rakyat. Contohnya
perkebunan tebu yang mengeksploitasi tenaga rakyat secara besar-besaran. Dampak politik pintu terbuka bagi
Belanda sangat besar. Negeri Belanda mencapai kemakmuran yang sangat
pesat. Sementara rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan menderita.
Penerapan
Politik Etis Di Indonesia
Seiring dengan
hal tersebut, gerakan-gerakan humanis
yang berkembang di negeri Belanda
mendorong diberlakukannya politik balas budi terhadap bangsa Indonesia. Desakan
parlemen kepada pemerintah Belanda untuk menghapus sistem tanam paksa merupakan
awal dari kemenangan terhadap strategi politik yang dijalankan kaum liberal
dalam rangka mencapai kepentingannya di bumi Indonesia.
Sejak saat itu,
mndal swasta asing diberikan peluang untuk mewarnai berbagai bidang usaha,
terutama pada perkebunan-perkebunan besar, baik di Jawa maupun di luar Jawa.
Pembukaan perkebunan-perkebunan yang didominasi modal asing, seperti Belanda
dan negara-negara Eropa lainnya memungkinkan dikeluarkan Undang-undang Agraria
dan Undang-Undang Gula pada tahun 1870. Dalam
realisasinya Undang-undang Agraria itu pun tidak membuat penduduk pribumi
menjadi terbebas dari penderitaan. Bahkan sebaliknya, penduduk pribumi hanya
menjadi alat pihak pemilik modal untuk mencapai keuntungan dan tidak
memperbaiki nasib rakyat Indonesia dari keadaan sebelumnya. Kondisi yang tidak
seimbang tersebut, pada akhirnya mendapat perhatian dari beberapa tokoh Belanda
seperti Baron van Hoevel, Eduard Douwes Dekker,
dan van Deventer. Tokoh-tokoh Belanda tersebut, kemudian mengusulkan
kepada pemerintah Kerajaan Belanda untuk memperhatikan nasib rakyat Indonesia.
Salah satu
politik balas budi tersebut adalah program yang dikemukakan oleh Mr. C. Th. Van
Deventer. Gagasannya yang diterbitkan oleh majalah de Gids pada tahun 1899 memaparkan perlunya bangsa Belanda melakukan
balas budi terhadap Indonesia. Balas budi dilakukan dengan jalan membantu
bangsa Indonesia untuk mencerdaskan dan
memakmurkan rakyatnya.
Berikut ini Isi Trilogi van Deventer antara lain:
1) Irigasi
(pengairan), yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-sawah
milik penduduk untuk membantu peningkatan kesejahteraan penduduk,
2)
Edukasi (pendidikan), yaitu
penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi agar mampu menghasilkan
kualitas sumber daya manusia yang lebih baik,
3) Migrasi
(perpindahan penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya (khususnya Pulau Jawa)
ke daerah lain yang jarang penduduknya agar lebih merata.
Setelah
melalui perdebatan yang cukup panjang akhirnya politik etis ini mulai dijalankan d Indonesia menurut tafsiran dan
kemauan pemerintah kolonial Belanda. Pada dasarnya kebijakan-kebijakan
yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya
terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan
tersebut:
1. Irigasi
Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang
subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air
dari irigasi.
2. Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan
ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah
Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat,
hanya diperuntukkan kepada anak-anak
pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi
pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri
dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi
dan pada umumnya.
3. Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah
yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya
permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti
perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain.
Mereka dijadikan kuli kontrak.
Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan
diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda
mengeluarkan Poenale Sanctie, (peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri
akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor atau
pengawasnya).
Walaupun pemikiran liberalisme di Hindia-Belanda diawali dengan harapan-harapan
besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam meningkatkan perkembangan
ekonomi koloni sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun
rakyat Indonesia, namun pada akhir abad 19 terlihat jelas bahwa rakyat
Indonesia sendiri tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik dari
sebelumnya. Ini didasarkan
karena kecenderungan politik agraria kolonial adalah prinsip
dagang, yaitu mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah
mungkin, kemudian dijual dengan harga setinggi-tingginya.
Tetapi Lambat laun
program politik etis ini memberikan manfaat yang sangat besar bagi
bangsa Indonesia, terutama dalam hal program pendidikan (edukasi). Program
pendidikan yang awalnya ditujukan untuk menghasilkan tenaga administratif
rendahan, pada akhirnya semakin berkembang. Tidak hanya jenjang
pendidikan semakin tinggi, tetapi juga menjangkau spesialisasi bidang pendidikan
lainnya seperti kedokteran, keguruan, teknik, pertanian, dan sebagainya.
Dengan demikian,
masyarakat Indonesia semakin mengenal pola pendidikan Barat yang pada akhirnya
menjadi benih-benih pergerakan indonesia menuju kemerdekaan.
Kesimpulan
Dari penjelasan sebelumnya, telah
diketahui bahwa dasar munculnya politik etis antara lain, berawal dari
kemenangan kaum liberalis dalam negeri belanda yang banyak memberikan
pengaruhnya terhadap Negara jajahannya atau koloniya, bukti nyata dari
keberhasilan kaum liberalis di parlemen belanda adalah dikeluarkannya UU
Agraria di Indonesia, yang bentuk nyatanya adalah untuk memberikan hak kepada
penduduk pribumi, seiring munculnya agrarisch wet, muncul juga agrarische
belsuit sebagai penerapan dari agrarische wet, dimana menentukan domein Negara
dalam artian tanah milik pribumi yang tidak bisa dibuktikan dengan kesaksian
orang lain misalnya (adat) maka diakui sebagai tanah Negara (colonial belanda).
Dengan berlakunya agrarische wet,
membuka peluang pagi perusahaan asing atau pemodal asing untuk membuka
perusahaan perkebunananya di Indonesia dengan cara menyewa kepada penduduk
pribumi, ataupun kepada pemerintah penguasa, dalam peraturanya sewa tanah
dibatasi maksimal 75 tahun. Secara kasat mata ini dipandang menguntungkan
rakyat, dengan asumsi, selain rakyat menyewakan tananhnya kepada pengusaha dan
kemudian bekerja di perusahaan belanda mereka mendapat penghasilan yang banyak
dan dapat sejahtera, tetapi dalam kenyataannya rakyat semakin menderita,
sehingga muncul politik etis yang dimotori oleh van Deventer, (edukasi, irigasi
dan emigrasi). Tetapi dalam perjanannya banyak sekali penyimpangan yang terjadi. Ini disebabkan karena dalam pelaksanaannya
konsep etis tersebut ditafsirkan sendiri oleh pemerintah belanda.
DAFTAR PUSTAKA (Bacaan)
Mu’adi Sholih.2008.Penyelesaian sengketa hak atas tanah Perkebunan melalui cara non
litigasi.Semarang:Departemen Pendidikan Nasional Program Doktor Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Prof.Harsono Budi.1999.Hukum Agraria
Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria.Jakara:Djambatan.
Tarunasena M.2009. Memahami Sejarah SMA Dan Ma Kelas XI Program
Ilmu Pengetahuan Sosial.Jakarta:Departemen pendidikan Nasional.
Sumber website:
(Diunduh Pada
22 April 2012)
Chekp4yz’s blog.28 Juli 2010/9:24 PM. Bab II Agraria. (Diunduh Pada 22 April 2012)
thaks
ReplyDelete