Keraton Surakarta

Karaton Surakarta terletak di Surakarta, Kab. Solo. Dari hasil observasi bahwasanya Kesultanan Mataram dulunya runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 yang akhirnya ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II

memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742 akhirnya Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo,. Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.

Ada 3 pilihan yang menjadi pilihan untuk pemindahan karaton yaitu ; Kadipulo, Sonosewu dan Dusun Sala. Kemudian raja menyuruh abdi dalem untuk meneliti di tempat tersebut atau sering disebut ‘nitik karaton’ dan hasilnya :

1. Kadipulo sebagai tempat karaton sudah di setujui oleh patih abdi dalem namun menurut ahli spiritual jika karaton di tempatkan di kadipulo dikemudian hari akan makmur, namun karaton cepat rusak dan banyak perang saudara. Bahkan ada ramalan usianya hanya 100 tahun.

2.Sonosewu, sebelah timur bengawan solo, menurut honggowongso tempat ini kurang cocok, jika karaton berdiri di tempat tersebut akan berusia 120 – 124 tahun, banyak perang dan akan kembali ke agama hindhu – buddha.

3. Dusun sala, pada saat itu tanah serta konstruksi tanahnya berawa dan di temukan tempat yang tanahnya wangi, maka tempat itu diberi nama Tolowangi, terletak disebelah timur dusun Sala yang sekarang bernama kampung Yosodipuran dan Wiropaten. Di waktu pangeran wijil 7 hari 7 malam bersama kiai yosodipuro tus panjang, di tepi kedung kol, menerima bisikan gaib atau wangsit yang diterima pangeran wijil bahwa telah menjadi kehendak tuhan bahwa telah digariskan desa Sala akan menjadi karaton besar dan tahan lama. Honggowongso bahkan meramalkan, jika karaton baru berdiri di dusun itu bisa berusia sampai 200 tahun.

Para utusan dalem kemudian menyampaikan kepada paku buwono II dan akhirnya menyetujui, bahwa dusun sala akan dibangun karaton baru menggantikan karaton kartasura. Pada saat itu yang memegang serta mendirikan dusun Sala adalah kiyai gede sala dan beliau juga merupakan abdi dalem karaton kartasura.

Kemudian selanjutnya pangeran wijil merundingkan kehendak paku buwono II kepada kiyai Sala dan akhirnya di sepakati bahwa ada persyaratan, antara lain :

1. Gong kyai sekar delima

2. Sirah tledek yaitu uang sebanyak “salekso ringgit”

3. Daun lumbu dan bunga delima seta.

Setelah persyaratan terpenuhi semua bunga delima seta dan daun lumbu dimasukkan ke dalam air yang berawa, dan akhirnya rawa semakin mengering dan pada akhirnya dibangunlah karaton. Kepindahan karaton dari kartasura ke desa Sala ini merupakan tonggak sejarah berdirinya karaton surakarta yaitu tepatnya pada rabo pahing, tanggal 17 suro tahun 1670 (jawa) atau tanggal 17 Februari 1745.

Dari hasil observasi yang dilakukan dikraton Surakarta ternyata dibagian depan terdapat pendopo pagelaran (Saksono Sumewo) yang berfungsi sebagai tempat hadirnya tamu raja untuk memberikan informasi mengenai kenegaraan, mengingat karaton surakarta dulunya merupakan kerajaan yang lumayan besar, didalamnya membawahi beberapa daerah. Pada saat Pakubuwono X tempat ini direnovasi dengan 48 pilar atau tiang penyanngga, tiang ini didasarkan pada umur Pakubuwono X yaitu 48 tahun. Dan didalam pendopo ini terdapat singgasan khusus untuk raja beserta tamu – tamu raja. Dan perlu diketahui pakubuwono ke X ini merupakan raja paling jaya.

Kemudian menelusuri pada tempat ke dua yaitu siti hinggil, yang mengandung arti siti (tanah) dan Hinggil (Tinggi) jadi tanah yang tingkat kerataannya tinggi, siti hinggil berfungsi sebagai upacara sakral yaitu tempat penobatan atau pengukuhan raja yang telah mangkat. Menurut narasumber bahwa yang berhak meneruskan tahta kerajaan adalah putra mahkota dari garis keturunan laki-laki. Didalam siti hinggil ini terdapat Bangsal Mangoentur Tanggil yaitu tempat atau singgasana sang raja ketika proses penobatan berlangsung.

Selanjutnya pada tempat ke tiga atau bisa dikatakan tempat inti yang kerap kali disebut Pelataran inti kraton, yang di dalamnya berisi ruang-ruang yang dikhususkan hanya para abdi dalem saja. Ditengah pelataran terdapat Pendopo Ageng Sasono Sewoko yaitu tempat sang raja singgah atau duduk saat ada pesta rakyat atau hajad besar yang biasanya didalamnya ada tarian bedoyo ketawang yang hanya boleh digelar didalam kraton saja, dan dimainkan hanya oleh 9 orang gadis yang masih perawan. Didalam Pendopo Ageng Sasono Sewoko terdapat pula Sasono Hondrowino yaitu tempat sang raja makan atau menjamu para tamu raja. Kemudian didalam kraton juga terdapat pohon sawo kecik yang mempunyai makna ‘harapan’ kraton lebih baik serta pohon ini dapat mengingatkan sang raja maupun penghuni lainnya untuk selalu berbuat baik. Selain sawo kecik terdapat juga pasir yang didatangkan langsung dari parangtritis yakni ditaburkan di halaman kraton. Yang terakhir dijumpainya seperti benteng yang sering disebut Panggung Songgo Buwono yang berfungsi sebagai tempat mengamati bulan sabit, sebagaimana banyak acara kraton yang didasarkan pada hitungan bulan yang dilakukan abdi dalem, kemudian fungsi lain adalah mengintai para musuh yang berusaha masuk dan menyerang karaton.

Ke depan, Kompleks Alun-alun Lor/Utara meliputi Gladhag, Pangurakan, Alun-alun utara, dan Masjid Agung Surakarta. Gladhag yang sekarang dikenal dengan perempatan Gladhag di Jalan Slamet Riyadi Surakarta, pada zaman dulu digunakan sebagai tempat mengikat binatang buruan yang ditangkap dari hutan. Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alunmenjadi tempat bertemunya raja dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun alun terdapat dua batang pohon beringin yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewodaru dan Joyodaru. Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Mesjid Ageng (Masjid Raya) Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono III (Sunan PB III) pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam).

Kompleks Kemandungan Lor/Utara. Kori Brajanala (brojonolo) atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kemandungan utara. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan jalan sapit urang dengan halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh Susuhunan Paku Buwono III dengan gaya Semar Tinandu. Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisomarto tempat jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana (Panggung Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks Sri Manganti.

Kompleks-kompleks Magangan, dan Sri Manganti, Kemandungan, serta Sitihinggil Kidul (Selatan). Kompleks Magangan dahulunya digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah halaman. Dua kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kemandungan Kidul / Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman raja maupun permaisuri. Kompleks terakhir, Sitihinggil kidul termasuk alun-alun kidul, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai Slamet.

Jadi, secara garis besar Secara umum pembagian keraton meliputi Kompleks Alun-alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Sitihinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Srimanganti Kidul/Selatan dan Kidul.

Daftar Bacaan:
Suseno. 1992. Kraton Surakarta. Surakarta : Cendrawasih
www.eastjava.com di akses pada tanggal 23 Desember 2012

No comments:

Post a Comment